Rabu, 17 November 2010

Mitos Seks Sebelum Bertanding

SSC-Masih ingat pernyataan Ronaldo dalam sebuah wawancara dengan stasiun TV Spanyol yang mengatakan seks selama beberapa jam sebelum berlaga adalah kunci sukses di lapangan.
Bahkan pesebakbola berkepala plontos itu menyarankan wanita yang lebih aktif sementara pria hanya menikmati sensasinya, karena ini akan memberi mereka tambahan energi, menghilangkan rasa tegang dan membuat rileks saat berlaga.
Berbeda lagi dengan ungkapan Berti Vogts, mantan pelatih bola Jerman saat dalam sebuah pernyataan melarang semua pemainnya untuk melakukan aktivitas seks sebelum pertandingan. Hal ini juga diamini Linford Christie, pelari cepat asal Inggris yang mengatakan bercinta semalam sebelum bertanding justru membuat kakinya lunglai.
Lebih unik lagi pernyataan yang dikemukakan Casey Stengel, mantan manager New York Yankees dan New York Mets menambahkan berhubungan seks tak akan merugikan pemain baseball profesional, namun berburu wanita sepanjang malam justru yang berakibat buruk.
Namun benarkah seks memilili andil dalam mendongkrak kemenangan? Sebenarnya kontradiksi seks bagi olahragawan telah dibeberkan oleh beberapa peneliti, seperti ahli psikologis Dr Ian Shrirer, mantan presiden Canadian Academy of Sport Medicine menyebutkan berhubungan seks sebelum berlaga tak terbukti memiliki efek meningkatkan kekuatan, dan menjaga kemampuan fisik seorang atlit.
Hampir sebagian besar atlit elit harus bersaing di tingkat teratas, namun, seperti dikutip situs Kapanlagi.com ada hal tertentu yang membuat mereka menjadi terlalu agresif, di mana dalam hal ini seks memiliki perbedaan yang positif. Coba pikirkan seorang pemain bola yang selalu mendapat pinalti, atau sering mendapat kartu merah, itu bukan penampilan yang baik, dan menunjukkan sisi agresif mereka " jelas Dr Shrirer.
"Memang hal ini belum sepenuhnya pernah dipelajari, bagaimana seks bisa memberi efek perilaku psikologi saat bertanding esok harinya, namun jika memang hal tersebut bisa menurunkan tingkat keagresifan, maka itu artinya baik untuk pemain yang terlalu agresif di lapangan, namun tak menguntungkan pemain yang memiliki agresivitas rendah," tambah Shrirer.
Berbeda dengan pandangan dokter Israel Alexander Olshanietzky yang menyebutkan wanita memiliki lebih banyak keuntungan. Wanita diyakini mendapat hasil yang lebih baik dalam kejuaraan jika di malam sebelum bertanding mereka mengalami orgasme. Hal ini umumnya lebih banyak dijumpai pada atlit lompat tinggi dan pelari. "Karena itu sangat disayangkan jika pelatih meminta para atlitnya untuk absen seks sebelum bertanding, terutama untuk wanita," tambah Dr Olshanietzky yang memperingtakan atlit pria untuk menghindari seks sebelum kompetisi, karena seks lebih banyak membantu wanita dibanding pria.
Lain lagi dengan pendapat Dr Emmanuel Jannini dari Universitas L'Aguila, Italia, pada beberapa tahun silam yang menyebutkan seorang olahragawan yang butuh agresivitas lebih sebaiknya melakukan hubungan seks. Dari penelitiannya tentang seks dan olahraga, kesimpulannya adalah melakukan hubungan seks sebelum pertandingan justru bagus bagi seorang olahragawan.
Lalu bagaimana dengan gelar akbar piala Eropa dalam waktu dekat? Apakah seks masih menjadi hal yang tabu atau justru sebuah kebutuhan alami para pemainnya? Hal ini sebenarnya tergantung dari pelatihnya, bagaimana mereka menilai seks untuk pemainnya.
Seperti halnya pelatih Portugal Luis Felipe Scolari yang dengan tegas membantah seks sebelum bertanding, karena baginya orang yang tak bisa mengontrol seluruh aspek dalam hidupnya bukanlah manusia, tapi binatang yang tidak rasional.
Lain lagi dengan Nigeria, pada Piala Dunia yang lalu, pelatih Festus Onigbinde lebih menekankan faktor spiritual untuk melupakan kebutuhan akan seks selama pertandingan berlangsung.
Sementara pelatih Italia Giovanni Trapatonni lebih bijaksana menyikapi seks di antara pemainnya. Bagi Trapatonni seks itu kebutuhan alami dan para pemain masih bisa melakukkanya saat mereka kembali ke negaranya.
Bagaimana dengan Fans?

Tak hanya pemain, fans juga menjadi objek menarik untuk diteliti. Para peneliti menyimpulkan hasil yang menarik dari hubungan antara testosteron dan olahraga. Jumlah testosteron akan meningkat meski mereka hanya duduk menonton pertandingan.
Sekitar sepuluh tahun lalu, Theodore Kemper, PhD, profesor sosiologi dari Universitas St John, New York, menyebutkan menonton pertandingan olahraga bisa mengalami perubahan testosteron hampir mirip dengan apa yang dialami para jagoan mereka di lapangan.
Penelitian tersebut diperkuat dengan statemen Paul Bernhardt, calon doktor dari Universitas Utah, yang baru-baru ini memeriksa kembali kebenaran teori tersebut dan menyimpulkan bahwa fans yang setia pada pertandingan timnya menunjukkan kenaikan testosteron. Apalagi jika tim kesayangan mereka menang, kadar testosterone akan bertambah sekitar 20 persen, dan akan menurun dalam jumlah yang sama jika tim favorit mereka kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar